aku yang hidup di dunia ini tak kurang dari setengah abad lamanya.
sering sudah raga merasakan kencangnya arus dan kerasnya terumbu karang di lautan.
tak pernah kulupakan ayunan sepeda onthelku disaat perang perekonomian menyudutkan diriku.
pahitnya hina dan perihnya duka yang merekalukiskan dihatiku, tak menjadikanku jatuh kejurang kehancuran.
teriakan di dalam perutku sesaat membuatku bisu akan semangatku. tapi demi saudara juga masa depanku kebisuan itu ramai oleh soraksorai dari asaku yang menggebu gebu.
meski orang tua lelakiku dahulu menyuruhku untuk berhenti memupuk ilmu karena ia tak mempu memberikan cangkul kepadaku. tetapi aku tetap berlari dengan kekesalanku meski dulu ku tak punya cangkul untuk memupuk pepohonanku.
tetapi tanganku akan terus menggali berharap tumbuhnya pohon itu berbuah manis.
sedikit demi sedikit aku menggali tanah yang bercampur bebatuan itu. saat aku tak memiliki daya dan upaya. aku berserah diri kembali kepada Ia yang selalu melihat dan menilai pekerjaanku di muka bumi.
meski dahulu aku harus berkeliling kampung untuk mengantarkan koran-koran yang rapuh akan derasnya hujan di saatku mengayuh sepeda onthelku . dan sepulangnya aku harus membantu ibuku menjaga adik adikku yang belum mengerti akan kerasnya kehidupan di negeri ini. tetap saja aku tidak mau berhenti untuk menggali tanah itu hingga akhirnya pepohonan itupun kutanam di tanah ini.
hingga beberapa bulan kemudian puncak dari pohon-pohon kecil itu mulai muncul dari bawah tanah. hatiku pun gembira akan hadirnya hasil dari bibit yang ku tanam. hingga berlanjutnya waktu pepohonan itu mulai berbuah. memang di tahun pertama pepohonan itu berbuah sangat manis dan lezat. banyak yang bisa menikmati buah dari pepohonan itu.
tetapi buah buah di pepohonan itu kini banyak yang membusuk..
aku bingung harus berbuat apa. kini aku lemah akan sisa asa yang ku miliki.
aku kecewa.. apa yang salah dengan pohonku yang dahulu merindangi pekarangan rumahku?
sampai beberapa waktu ibuku mengalami sakit keras. hingga butuh biaya yang sangat besar. aku hanya berharap kesembuhan dari Yang Maha Kuasa untuk ibuku sambil menjual buah buah dari pohonku yang masih dapat di konsumsi dengan layak.
dan ternyata Ia bekata berbeda. mungkin Ia lebih mencintai ibuku di bandingkan dengan makhluk makhlukNya di dunia. di hadapan adik adik dan ayahku aku tidak dapat meneteskan air mata. meski sebenarnya di dalam hatiku air mataku mengucur hingga memadamkan api penyesalan belum bisa membahagiakan ibuku di dunia.
tapi aku tidak mau kesedihan itu tak berangsur lama. hingga aku kini sangat menjaga dan menghargai orang tua lelakiku. aku merawatnya bersama saudara-saudaraku berharap ia tak terlalu merasa kehilangan pengurusnya sejak akad nikah dahulu.
akan tetapi Yang Maha Perkasa kembali berkata. tak lama selang seminggu ibundaku meninggal
kini ia yang merangkulku dari kesedihan karena kepergian ibundaku harus ikut menyusul ibundaku kepangkuanNya. kali ini aku sudah tak tahan lagi menahan isak tangis yang bergejolak di dalam batinku. akupun menangis hari bersama adik-adikku di depan jasad ayahku yang pulang secara tiba-tiba. hingga aku dan saudara-saudaraku merasakan hantaman batin yang sangat keras. kini kamipun yatim piatu. bukan tidak mengenal ayah juga ibu. tapi tanpa pelukan mereka kami merasa beku akan dinginnya malam yang gundah ini.
detik demi detik...
menit demi menit...
hari berganti hari.. tak ingin kulewatkan hanya dengan memikirkan goresan hati yang terbekas dari ujian Ilahi. aku kembali mengambil air di dalam sumur tua di belakang rumahku. dan lekas ku menyembah Tuhanku dan kembali memupuk pepohonku yang mungkin akan memberikan kerindangan dan buah buahan yang berguna untuk keluargaku dan lingkungan di sekitarku...
Thursday, October 21, 2010
surat yang tak kunjung tiba
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment